My Stranger Friend

Pagi ini dingin sekali. Minggu ini aku bersama keluargaku pergi ke kawasan puncak untuk liburan. Ayahku adalah seorang pilot dan bunda adalah seorang anggota legislatif. Jarang sekali kami melewati waktu bersama. Kebetulan tiga hari ke depan mereka mengambil cuti dan kami memanfaatkan waktu untuk berlibur ke tempat yang tenang, dan puncak adalah pilihan kami. Kami sengaja mengambil hari biasa untuk meminimalisasi kemacetan. Wajar, liburan kami hanya sebentar, siapa yang mau menyia-nyiakan waktu libur yang singkat ini untuk berlama-lama di jalan?

“Kak? Ngapain?” tanya Brian sembari mengintip ponsel yang kupegang.

Brian adalah adik kandungku. Aku hanya memiliki satu saudara kandung, dialah Brian.

“Apaan sih, usil aja” jawabku dengan sedikit nada sewot. Aku merasakan mungkin bibir Brian sudah maju sekitar... lima meter?

“Iya nih, kakak lagi sibuk apa sih?” Bunda ikut penasaran dengan apa yang aku lakukan.

Akupun menyerah. Tidak ada hal yang aku rahasiakan dari mereka karena pada dasarnya aku adalah tipe orang yang terbuka. Tidak ada hal yang kurahasiakan, tidak kecuali masalah keluargaku.

“Ini nih Bun, kakak ada temen baru gitu” jawabku sambil menunjukkan percakapanku bersama teman baruku itu.

“Siapa sih? Temen sekelas? Atau temen gimana? Cowo?” begitulah Bunda, selalu ingin tahu apa saja tentang anak-anaknya. Mungkin begitulah cara beliau memastikan pergaulan anak-anaknya.

“Bukan bun, aku kenal dia dari twitter sih.” Jawabku singkat.

“Hah? Kenalan di twitter?” Brian angkat bicara tanpa memalingkan perhatiannya dari pc yang ia pegang.

“Hmm” aku bergumam karena begitulah memang adanya.

Sejenak aku memerhatikan ekspresi Bunda. Aku takut jika Bunda melarangku untuk berteman dengan temanku ini. Iya, kami, aku dan Franda berkenalan beberapa hari yang lalu. Dia menamai akunnya dengan nama yang kurang familiar, sepertinya itu adalah pelafalan dari negara lain, yang jelas display name akun Franda bukanlah nama yang sebenarnya dan dia memperkenalkan diri dengan nama Franda, sedangkan aku, bahkan display name ku adalah nama asliku, Amanda.

“Jangan terlalu deket sama orang asing ya kak.” Saran Bunda.

Seperti yang kuperkirakan, Bunda memang orang yang sangat selektif bahkan kadang aku merasa bahwa Bunda adalah orang yang pemilih terutama dalam hal pertemanan.

Aku hanya mengangguk, mengiyakan apa yang Bunda katakan. Tidak bisa dipungkiri, aku dan Franda tidak pernah saling mengenal dengan cara yang sepatutnya.

Aku hanya mengenal sosoknya dari dunia maya, twitter. Kala itu aku tidak sengaja mengikuti salah satu event sebut saja giveaway yang dia adakan.

Tidak biasanya memang aku mengikuti hal-hal semacam itu mengingat aku dari keluarga berkecukupan dan orang tuaku mungkin saja membelikan apapun yang aku mau. Hanya saja saat itu, aku memang sedang menginginkan benda itu, sebuah perfume merek terkenal yang jumlahnya sangat terbatas.

Aku bisa saja membeli perfume itu, hanya saja hari itu aku baru mendapatkan pengeluaran tak terduga dan harus melubangi tabunganku cukup dalam. Singkat cerita, aku mulai berkenalan dengan si Franda ini pasca hadiah itu aku terima. Aku mengucapkan terima kasih seperti biasa, kemudian kami saling berkenalan.

Kami menceritakan banyak hal, pendidikan, hobi, dan masih banyak lagi yang kita bahas. Tidak banyak hambatan yang muncul saat kami berkomunikasi, bahkan ternyata kami berada pada hobi yang sama yaitu menulis dan kami juga sama-sama menggemari dunia Korean Pop atau yang biasa dikenal dengan K-Pop.
Seperti itulah kira-kira awal perkenalan kami.

Di situ aku mengenal Franda sebagai sosok yang sangat humble, easy-going, dan banyak bicara. Mungkin akulah yang selama ini kurang bisa mengimbangi karena aku bukan orang yang sangat sering bermain gadget untuk sekedar berkirim pesan. Aku biasanya menggunakan gadget untuk belajar politik, ekonomi, dan beberapa hal lain yang terkait dengan pendidikanku. Akhirnya sering sekali pesan Franda yang aku abaikan.

“Kak, ada paket.” Ayah yang entah kapan pergi ke gerbang sudah berada di depanku dengan membawa sebuah paket di tangannya.

“Buat siapa Yah?” tanyaku heran.

“Di tulisannya sih Amanda, ini buat kakak kan? Kakak pesen sesuatu?” Ayah menyerahkan kotak itu kepadaku dengan ekspresi bingung. Mungkin beliau merasa heran untuk apa aku memesan sesuatu di saat aku tidak di rumah.

“Kakak gak pesen Yah.” Benar bahwa aku tidak merasa memesan apapun, terlebih saat ini kami sedang berada di vila. Logikanya, untuk apa aku mengirim paket ke vila?

Karena penasaran, aku membaca lekat-lekat nama siapa yang dituju oleh si pengirim. Benar saja, di paket itu tertulis nama Amanda Rossari. Itu adalah namaku, lantas siapa yang mengirimnya?

Akupun terkejut melihat nama pengirim yang ada di paket itu. Tertulis nama “Franda”. Aku hanya menganga sekaligus bingung. Untuk apa dia mengirimiku paket di saat dia tau aku sedang di luar?

Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya kepada Franda sebelum membuka paket itu. Kuraih ponsel di atas nakas kemudian mencari nama Franda.

“Hai Fran, gw mau tanya nih... Lo ngirimin gw paket?” Okay ‘SENT’’

Tidak lama kemudian ponselku berbunyi dan aku melihat ada notifikasi whatsapp dari Franda.
“Iya” Jawabnya singkat.

“Buat apa? Ini btw isinya apa sih?” tanyaku yang semakin penasaran.

“Buka aja, kebetulan aku beli satu dan terkirim dua. Karena kasihan sama kurirnya jadi aku bayar semua.”

Jawaban Franda semakin membuatku bingung. Akhirnya tanpa mengirim balasan apapun kepada Franda, aku memutuskan untuk membuka paket itu.

Betapa kagetnya aku ketika aku melihat satu set alat make up lengkap beserta make up keluaran Korea Selatan edisi terbaru di dalamnya.

“Franda, ini pasti mahal. Gw gak mau, gw kembaliin ya?” Aku memberanikan diri menolak pemberian Franda yang kurasa berlebihan itu.

“Kamu gak suka ya?” Entah bagaimana aku bingung merespon pesan Franda.

“Bukan gitu, gw suka, cuman kan ini mahal, sayang banget”

Aku mencoba untuk menjelaskan bahwa aku bukannya tidak suka, hanya saja ini terlalu berlebihan. Kami bahkan belum mengenal lama. Aku belum tahu wajah Franda, walaupun mungkin Franda sudah tau wajahku dari foto profil dan ava twitterku. Tapi sungguh, kami bahkan bukan teman dekat.

“Kalau memang keberatan, kamu bisa ambil satu. Lainnya kamu kasih aja ke temen-temen kamu”

Sekejap aku membayangkan betapa kayanya Franda sampai-sampai dia memberikan benda yang tidak murah ini untuk ‘ORANG ASING’.

Bunda yang sedari tadi melihatku kebingungan dengan paket dan ponsel akhirnya bertanya.

“Apa itu kak?” tanya Bunda.

“Ini Bun, temen kakak, si Franda itu. Dia ngirimin kakak satu set ini masa. Asal Bunda tau ini harganya lumayan mahal Bun.” Aku menjelaskan karena aku tau Bunda tidak mengerti benda-benda yang ada di depanku ini.

“Loh kok bisa? Dalam rangka apa?” Kurasa Bunda juga merasa aneh dengan pemberian Franda.

“Entahlah Bun, tapi tadi katanya dia pesen satu set tapi yang dateng dua set, karena kasian sama kurirnya akhirnya dia beli semua. Katanya sih gitu.” Aku menjelaskan apa adanya yang aku tau, meskipun kedengarannya tidak masuk akal.

“Tajir dong temen kakak.” Brian tiba-tiba menyela sambil memegang benda-benda yang sangat asing bagi laki-laki itu.

“Balikin aja kak...” Tiba-tiba Ayah muncul dari belakang.

“Iya balikin aja.” Ucap Bunda kompak.

“Iya Yah, maunya kakak balikin, cuman kan aku gak tau alamatnya Franda. Tadi kakak juga udah bilang mau balikin tapi katanya malah suruh bagiin ke temen-temen kakak.” Aku bingung bagaimana harus bersikap.

“Ya udah bagiin aja ke temen-temen kakak, kalau gak mau biar Brian bagiin ke temen-temen Brian di kelas sini.”
Aku menangkis tangan Brian yang akan mengamankan paket itu. Aku masih sangat bingung, apa yang harus aku lakukan dengan pemberian Franda ini. Sejujurnya aku sangat menyukai apa yang Franda berikan, tapi di sisi lain aku tidak mau menjadi teman yang cuma bisa memanfaatkan temannya saja.

“Ayah cuma takut kalau nanti orang tua Franda ternyata gak tau kalau anaknya hambur-hamburin uang” kata Ayah.

Seketika aku tersadar, bagaimana jika benar Franda selama ini membebani orang tuanya untuk beberapa benda yang dia berikan kepada orang lain?

Aku bahkan sudah menerima satu botol perfume bermerek yang kisarannya lima hingga tujuh jutaan, dan sekarang make up ini. Arrgggh aku merasa frustasi, bingung harus bagaimana.

“Iya sih Yah, tapi gimana lagi, dia sudah menolak untuk dikembalikan. Kakak ambil ya? Sekali ini saja. Masa sih dia mau kasih setiap hari?” Aku mencoba untuk menjelaskan kondisiku kepada Ayah dan Bunda. Untunglah mereka memahami posisiku.

Aku tidak bermaksud menggunakan semuanya. Aku bukan tipe orang yang suka berdandan. Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan beberapa kepada temanku di kampus.

Setelah kejadian itu, aku hanya mengucapkan terima kasih. Meskipun berat aku menerimanya aku rasa itulah hal yang sepatutnya aku lakukan. Aku memutuskan untuk tidak terlalu lama bermain gadget dan fokus pada quality time kami di puncak.

Lusa orang tuaku harus kembali ke rutinitas mereka. Aku tidak ingin waktu yang mereka luangkan menjadi sia-sia. Hari itu aku tidak mengirim pesan apa-apa kepada Franda. Aku hanya mengatakan bahwa aku sedang berlibur dengan keluarga, dan aku rasa dia memahami hal itu.

Komentar